Oleh: Pdt. Sammy Sahulata.
Kabarsulsel-Indonesia.com | OPINI – Kita hidup dalam budaya yang sangat memuliakan kenyamanan. Kita diajarkan, sejak kecil, untuk menghindari rasa sakit, menyingkirkan rasa tidak nyaman, dan mengejar segala yang membuat hati tenang dan tubuh tenteram.
Namun kenyataannya, tidak semua hal dalam hidup dapat – atau seharusnya – terasa nyaman. Ketidaknyamanan adalah bagian dari hidup. Ia adalah realitas yang tidak bisa kita tolak tanpa menyangkal kedalaman makna kehidupan itu sendiri.
Sebagai pendeta, saya telah menemani jiwa saya dalam saat-saat tergelap saya : saat berpisah jauh dari keluarga, saat terjadi konflik dalam diri saya, saat iman saya bergumul hebat dengan kenyataan hidup.
Saya telah duduk bersama diri saya dan berkata, “Saya tidak mengerti mengapa Tuhan diam.” Dan saya pun, dalam keheningan malam-malam pelayanan, pernah berdoa dengan suara patah, “Tuhan, mengapa Engkau seperti jauh?” Namun justru di tempat-tempat seperti itulah saya mulai mengerti: Tuhan tidak selalu hadir dalam guntur dan kilat, melainkan dalam angin sepoi yang nyaris tak terdengar (1 Raja-raja 19:12).
Psikologi: Ketidaknyamanan Sebagai Ruang Pertumbuhan
Dalam psikologi perkembangan, terutama dalam pendekatan eksistensial, ketidaknyamanan bukanlah masalah yang harus dihindari melainkan undangan untuk mengenal diri secara lebih jujur. Carl Rogers menyatakan bahwa pertumbuhan hanya mungkin terjadi ketika seseorang menerima dirinya secara utuh, termasuk bagian dirinya yang tidak menyenangkan.
Demikian juga Viktor Frankl, yang dalam kamp konsentrasi Nazi justru menemukan bahwa manusia tidak selalu berkuasa atas apa yang terjadi padanya, tetapi selalu berkuasa untuk memilih sikap terhadapnya. Ia menulis: “Antara rangsangan dan respons terdapat ruang. Di dalam ruang itu terletak kebebasan kita untuk memilih respons kita. Dan dalam respons itu terdapat pertumbuhan dan kebebasan kita.”
Namun bagi seorang Kristen, ruang itu lebih dari sekadar tempat netral. Itu adalah ruang kudus, di mana Allah bekerja dengan tangan tak terlihat.
Teologi: Allah Hadir dalam Ketidaknyamanan
Ketidaknyamanan bukanlah tanda absennya Allah. Justru dalam Alkitab kita melihat bahwa Allah kerap membawa umat-Nya masuk ke dalam tempat-tempat yang tidak nyaman agar mereka belajar mempercayai-Nya, bukan diri sendiri. Ketika Israel dibawa keluar dari Mesir, mereka tidak langsung dibawa ke tanah perjanjian, melainkan ke padang gurun , tempat yang asing, keras, dan tidak nyaman. Namun di sanalah mereka mengenal Allah sebagai Penyedia, sebagai Pelindung, dan sebagai Pribadi yang setia.
Dalam teologi salib (theologia crucis), ketidaknyamanan bukan sekadar penderitaan, tetapi cara Allah memperkenalkan diri-Nya. Kristus sendiri memilih ketidaknyamanan sebagai jalan penebusan. Dalam Getsemani, Ia berdoa dengan peluh seperti darah, dan di kayu salib Ia berseru, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Markus 15:34). Namun justru di titik paling gelap itulah, terang keselamatan dinyatakan.
Sebagai Pendeta, saya belajar bahwa iman tidak bertumbuh lewat khotbah yang menghibur saja, tetapi lewat kesetiaan sehari-hari di tengah hidup yang tak kunjung nyaman. Iman itu seperti akar – ia tidak tumbuh di permukaan, tetapi menembus ke dalam tanah keras, gelap, dan dingin. Dan di sanalah kekuatan sejati bertumbuh.
Spiritualitas Ketidaknyamanan
Spiritualitas Kristen bukanlah spiritualitas pelarian, tetapi spiritualitas tinggal. Tinggal dalam doa, tingal dalam pergumulan, tinggal dalam relasi yang sulit, dan tinggal dalam ketidakpastian hidup – karena kita percaya, Tuhan tinggal di sana bersama kita.
Dalam pelayanan pastoral, saya sering berkata pada mereka yang datang dengan air mata: “Engkau tidak sendiri.” Bukan karena saya bisa menyelesaikan persoalannya, tetapi karena saya percaya Tuhan tidak meninggalkan mereka. Dan jika Tuhan tidak meninggalkan, maka ketidaknyamanan tidak akan menjadi ruang sia-sia. Ia bisa menjadi rahim bagi kelahiran iman yang baru.
Komentar