Oleh : Ir Petrus Beruatwarin, M.Si *
Kabarsulsel-Indonesia.com | Opini – Fenomena banjir bandang yang melanda sejumlah desa atau ohoi di Pulau Kei Besar (Nuhu Yut), Kabupaten Maluku Tenggara, menjadi alarm keras bagi kita semua.
Peristiwa ini bukan semata-mata bencana alam, melainkan cerminan dari persoalan struktural dalam tata kelola lingkungan, khususnya pengelolaan hutan dan wilayah pesisir di daerah perbatasan yang tergolong wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Pulau Kei Besar merupakan pulau kecil terluar yang strategis, karena berada di wilayah perbatasan negara. Hutan, pesisir, dan laut di kawasan ini membentuk satu ekosistem utuh yang tidak bisa dipisahkan dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan di wilayah ini harus berpijak pada prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis.
Presiden RI Prabowo Subianto telah menegaskan bahwa arah kebijakan kehutanan nasional bertumpu pada tiga pilar utama: pelestarian hutan, pembangunan berkelanjutan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Ketiga pilar ini tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus saling menguatkan untuk menjaga fungsi ekologis sekaligus membuka ruang bagi tumbuhnya ekonomi hijau.
Sebagai jalan tengah, skema perhutanan sosial, restorasi ekosistem, dan investasi hijau adalah pendekatan strategis yang perlu diperluas implementasinya di kawasan seperti Kei Besar.
Pembangunan tidak boleh lagi menjadi alasan untuk menghancurkan hutan, melainkan harus tumbuh bersama hutan. Oleh karena itu, setiap rencana pembangunan wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai instrumen mitigasi dan pengendalian.
Banjir bandang yang terjadi saat ini juga tidak bisa dilepaskan dari ekspansi ruang manusia yang semakin tak terkendali, ditambah dampak sistemik dari anomali iklim global.
Oleh karena itu, solusi jangka panjang bukan hanya terletak pada penanganan darurat bencana, tetapi juga pada reformasi tata kelola ruang dan kebijakan lingkungan yang konsisten.
Implementasi kebijakan pelestarian hutan dan pembangunan berkelanjutan membutuhkan komitmen kolektif: lintas sektor, lintas aktor.
Pemerintah memang memegang peran penting, tetapi masyarakat, dunia usaha, dan seluruh pemangku kepentingan juga harus terlibat aktif. Hutan bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan untuk anak cucu kita. Maka, merawatnya adalah kewajiban moral bersama.
Dalam konteks budaya lokal Kei, upaya pelestarian alam juga harus diperkuat melalui pendekatan kearifan lokal. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah daerah menginisiasi pembentukan Peraturan Daerah (Perda) tentang “Sasi” sebagai instrumen hukum yang mengatur perlindungan dan pelestarian lingkungan berbasis adat, selaras dengan falsafah Larvul Ngabal.
Penanganan bencana juga harus dilakukan secara profesional dan adil, dengan mengedepankan SOP dan SPM. Idealnya, OPD teknis seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Sosial telah menyiapkan buffer stock (logistik dasar seperti makanan, tenda, dan pakaian) yang tersimpan di gudang dan siap didistribusikan segera setelah laporan resmi dari camat diterima.
Selanjutnya, pemetaan lokasi terdampak dan identifikasi kerugian serta jumlah korban harus dilakukan untuk menentukan bentuk bantuan lainnya, termasuk penggunaan anggaran Belanja Tak Terduga (BTT) sebelum program pemulihan dari dinas teknis lainnya seperti Dinas Kesehatan, PUPR, Pertanian, Perkim, dan Pertanahan dapat dijalankan.
Penanganan yang cepat, terkoordinasi, dan berkeadilan tidak hanya menjawab kebutuhan riil masyarakat yang terdampak, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Semoga bencana ini menjadi momentum pembelajaran dan titik balik bagi kita semua untuk menata ulang hubungan kita dengan alam. Kei Besar bukan sekadar wilayah administratif, tetapi jantung kehidupan yang menyimpan kearifan, sejarah, dan harapan generasi masa depan.
* Penulis:
Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Maluku Tenggara dua periode & Mantan Wakil Bupati Maluku Tenggara.
Komentar