Oleh : Arif Kartini
1. Pendahuluan
Perayaan Hari Kartini tiap 21 April telah menjadi bagian dari ritus nasionalisme simbolik di Indonesia.
Namun, kritik terhadap perayaan ini kian relevan, terutama ketika substansi perjuangan Kartini yang bersifat intelektual dan radikal justru dikebiri dalam bentuk lomba busana tradisional dan pertunjukan yang bersifat seremonial.
Tulisan “Melampaui Topeng Perayaan” mencoba menggugat mitos yang dibangun oleh negara dan institusi pendidikan mengenai Kartini.
Kritik ini patut dianalisis secara akademik karena menyangkut dekonstruksi sejarah, peran gender dalam historiografi, dan manipulasi simbol dalam politik kebudayaan.
2. Rumusan Masalah
- Bagaimana perayaan Hari Kartini telah mengalami dekontekstualisasi dari substansi pemikirannya?
- Mengapa figur R.M.P. Sosrokartono, kakak kandung Kartini, dipinggirkan dari narasi sejarah nasional?
- Apakah bentuk perayaan tahunan ini merupakan bagian dari mekanisme pembodohan massal?
3. Landasan Teori
a. Dekonstruksi (Jacques Derrida):
Membedah ulang konstruksi narasi yang selama ini dianggap kebenaran tunggal tentang Kartini.
b. Kritik Poskolonial (Edward Said):
Menganalisis bagaimana kolonialisme membentuk narasi tokoh-tokoh pribumi melalui kurasi dan sensor.
c. Teori Hegemoni Budaya (Antonio Gramsci):
Perayaan Hari Kartini sebagai bentuk dominasi ideologi negara terhadap rakyat lewat simbol budaya.
4. Analisis
a. Kartini sebagai Boneka Naratif Kolonial
Kartini memang menulis gagasan progresif dalam surat-suratnya.
Namun, versi yang beredar di masyarakat adalah hasil kurasi J.H. Abendanon dalam proyek politik etis Belanda.
Feodalisme, patriarki, dan kolonialisme membentuk “sangkar emas” bagi Kartini.
Analisis:
Perayaan Hari Kartini tanpa pembacaan kritis terhadap konteks sejarah justru mengukuhkan citra “Kartini jinak” dan melanggengkan domestifikasi perempuan.
b. Sosrokartono: Tokoh Radikal yang Terpinggirkan
Sosrokartono merupakan sosok intelektual yang hidup bebas dari kekangan kolonial.
Karya dan perjalanannya menginspirasi pemikiran pembebasan spiritual dan kemandirian intelektual.
Analisis:
Penghilangan Sosrokartono dari narasi sejarah mencerminkan kecenderungan negara untuk menyeleksi simbol yang “aman secara politis”.
c. Perayaan Simbolik dan Pembodohan Struktural
Lomba busana dan kegiatan seremonial menggantikan diskursus kritis.
Representasi perempuan dikembalikan pada ranah estetika, bukan pemikiran.
Analisis:
Inilah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni budaya: rakyat menerima bentuk penindasan melalui simbol-simbol budaya yang terlihat indah namun kosong makna.
5. Usulan Solusi Kritis
Merevisi Kurikulum Sejarah: Menyisipkan pemikiran kritis Kartini dan memperkenalkan Sosrokartono.
Diskusi Kritis Hari Kartini: Mengganti lomba busana dengan forum pemikiran dan pembacaan surat asli Kartini.
Dekolonisasi Ritual: Mengembalikan perayaan menjadi momen refleksi tentang kemerdekaan berpikir perempuan dan bangsa.
6. Kesimpulan
Tulisan “Melampaui Topeng Perayaan” menyentil kesadaran publik untuk tidak lagi merayakan simbol, tapi menggali substansi. Kritik ini bukan sekadar provokasi, tapi bagian dari revolusi epistemik untuk membebaskan sejarah dari kepalsuan dan simbolisme semu.
Disclaimer
Referensi Pendukung
- Kartini, R.A. Habis Gelap Terbitlah Terang (Ed. Abendanon)
- Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks
- Said, Edward. Culture and Imperialism
- Anderson, Benedict. Imagined Communities
- Saraswati, Liliweri. Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbuday
Komentar