Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Layanan telekomunikasi di sejumlah wilayah Papua kembali diguncang masalah serius. Kabel laut Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Sulawesi-Maluku-Papua Cable System (SMPCS#1) ruas Ambon–Fakfak mengalami gangguan fatal akibat terputusnya serat optik pada kedalaman 1.100 meter, hanya berjarak 3,3 kilometer dari Tersili, Ambon.
Akibatnya, akses internet dan data di Merauke, Timika, Kaimana, Fakfak, Dobo, Tual, Pulau Seram, hingga Banda lumpuh. Penurunan kualitas layanan ini bukan sekadar gangguan teknis, melainkan telah melumpuhkan jalannya roda pemerintahan dan pelayanan publik.
Contoh nyata terjadi di Kabupaten Fakfak. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan terpaksa angkat kaki dari kantor dan pindah bekerja ke sebuah kafe, hanya untuk bisa menembus jaringan internet berbasis satelit Starlink. Kepala Dinas, M. Soleh, S.Hut., M.Si, bersama stafnya duduk berjam-jam di Kencana Cafe Ice Cream demi memastikan dokumen penting yang jatuh tempo esok hari dapat terkirim.
“Kalau tidak begini, layanan bisa macet total. Negara rugi, rakyat pun dirugikan,” ungkap salah satu pegawai dengan wajah letih.
Situasi ini memperlihatkan betapa rapuhnya infrastruktur backbone TelkomGroup di kawasan timur Indonesia. Alih-alih berfungsi sebagai urat nadi telekomunikasi nasional, kabel laut yang mestinya menjadi tulang punggung justru berulang kali bermasalah.
Kewajiban Hukum yang Diabaikan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, khususnya Pasal 15, penyelenggara wajib menyediakan layanan secara andal, berkelanjutan, dan memenuhi standar kualitas.
Bahkan, regulasi turunan seperti PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Permenkominfo No. 12 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi menegaskan bahwa operator berkewajiban menjamin kualitas layanan (Quality of Service/QoS) sesuai parameter yang telah ditentukan.
Kegagalan Telkom dalam menjaga stabilitas jaringan di Papua jelas bertentangan dengan kewajiban hukum tersebut. Bukan hanya pelanggan yang dirugikan, melainkan juga pelayanan publik, pendidikan, hingga aktivitas ekonomi lokal.
Dampak Sosial dan Politik
Di era digital, terhentinya akses internet bukan sekadar masalah teknis, tetapi bisa dianggap sebagai penghentian hak masyarakat atas informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Tak heran, masyarakat kini mulai mempertanyakan monopoli TelkomGroup dalam layanan kabel laut nasional. Ketergantungan mutlak pada satu operator tanpa opsi alternatif kian memperbesar risiko terjadinya kolaps layanan di wilayah strategis.
Jika Telkom tidak segera mengambil langkah radikal, bukan tidak mungkin tekanan publik akan berujung pada desakan evaluasi perizinan penyelenggaraan telekomunikasi, bahkan gugatan hukum atas kelalaian penyedia layanan negara.
Janji Telkom vs Fakta di Lapangan
Meski Telkom mengklaim tengah melakukan reroute jaringan dan mempercepat perbaikan ruas lain di SKKL SMPCS#2 Sorong–Merauke, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemulihan layanan masih jauh dari kata memadai.
Di Fakfak, jaringan internet tetap tersendat, masyarakat kehilangan akses komunikasi vital, dan pemerintah daerah dipaksa mencari jalan pintas agar roda administrasi tidak berhenti.
Gangguan ini bukan pertama kali. Rekam jejak gangguan kabel laut di timur Indonesia sudah berulang kali terjadi. Pertanyaannya kini: sampai kapan publik harus menanggung kerugian akibat kelalaian infrastruktur Telkom?
Writter : Red | Editor : Red
Komentar