Oleh : [Gerry Ubra Guru SMA Negeri 1 Tual]
Kabarsulsel-Indonesia.com | Perubahan Pendidikan di Indonesia sedang memasuki babak baru. Kurikulum Merdeka yang mulai diimplementasikan di berbagai jenjang pendidikan membawa konsep Deep Learning atau Pembelajaran Mendalam.
Istilah ini sering terdengar modern, tetapi esensinya sederhana: siswa tidak lagi hanya diharapkan menghafal materi, melainkan memahami, mengaitkan dengan kehidupan nyata, dan menggunakannya untuk memecahkan masalah.
Namun, perubahan paradigma ini tidak bisa berjalan sendiri. Guru—dari SD hingga SMA—adalah ujung tombak. Mereka bukan hanya pengajar, melainkan fasilitator, pembimbing, bahkan inspirator. Di sinilah cerita dimulai: tantangan yang tidak ringan, tetapi juga keberhasilan yang patut diapresiasi.
Tantangan Menghadang di Tiga Jenjang Pendidikan
1. Mengubah Paradigma Mengajar
Bagi sebagian guru, meninggalkan pola ceramah satu arah yang sudah bertahun-tahun dilakukan bukan perkara mudah. Deep Learning menuntut guru menjadi fasilitator, memberi ruang bagi siswa untuk bertanya, bereksperimen, dan berdiskusi. Di SD, guru harus menghadirkan materi sederhana yang bisa memantik rasa ingin tahu anak, sering kali lewat permainan atau cerita. Di SMP, guru menghadapi remaja yang kritis namun mudah terdistraksi, sehingga perlu strategi belajar yang interaktif. Di SMA, tantangan bergeser ke pengemasan materi kompleks agar relevan dengan dunia nyata.
2. Kesenjangan Literasi Digital
Teknologi menjadi senjata utama Deep Learning. Tetapi di lapangan, tidak semua guru menguasainya. Ada guru di kota besar yang lihai mengelola Google Classroom, membuat infografis dengan Canva, bahkan memanfaatkan kecerdasan buatan untuk kuis. Namun di daerah terpencil, guru masih bergulat dengan jaringan internet lemah, minim perangkat, dan jarang mendapatkan pelatihan teknologi.
3. Beban Administrasi yang Mencekik Waktu. Walau Kurikulum Merdeka digadang-gadang memangkas administrasi, kenyataannya guru tetap berjibaku dengan laporan proyek, asesmen formatif-sumatif, hingga portofolio siswa. Waktu yang seharusnya digunakan untuk merancang pembelajaran kreatif terkadang habis untuk urusan administratif.
4. Heterogenitas Siswa
Kelas-kelas di Indonesia penuh keragaman—baik kemampuan akademik, gaya belajar, maupun minat siswa. Pembelajaran mendalam yang menuntut diferensiasi metode membuat guru harus pandai membagi perhatian.
Di SD, ada anak yang cepat memahami pelajaran, sementara yang lain butuh pengulangan berkali-kali. Di SMP, motivasi belajar bisa sangat timpang antar siswa. Di SMA, jurang kemampuan akademik makin terlihat jelas.
5. Penilaian Berbasis Proses
Jika dulu nilai ujian menjadi tolok ukur, kini Deep Learning mengharuskan penilaian berkelanjutan berbasis proses, proyek, dan refleksi diri. Guru harus kreatif merancang asesmen yang adil dan relevan—sebuah pekerjaan yang memakan energi ekstra.
Keberhasilan yang Membanggakan
Meski rintangan mengadang, banyak guru Indonesia berhasil menaklukkan tantangan ini dengan kreativitas dan dedikasi tinggi.
1. Inovasi Metode Mengajar
Berbagai pendekatan kreatif lahir:
Project-Based Learning (PjBL): Siswa SD mengukur luas kebun sekolah sambil menanam sayur; siswa SMP meneliti kualitas air di lingkungan; siswa SMA membuat simulasi bisnis digital.
Problem-Based Learning (PBL): Guru fisika SMA mengajak siswa merancang alat ukur sederhana dari bahan bekas.
Inquiry Learning: Guru IPA SMP memandu eksperimen tentang polusi udara dengan data lapangan.
2. Penguasaan Teknologi Pembelajaran
Pelatihan daring, webinar, dan komunitas guru membuat banyak pendidik melek digital. Kini guru mampu membuat video pembelajaran menarik, mengelola kelas online, hingga mengintegrasikan aplikasi kuis interaktif seperti Quizizz atau Kahoot.
3. Kolaborasi Guru–Siswa
Kelas yang dikelola dengan prinsip Deep Learning bukan lagi ruang hening dengan guru berceramah, tetapi ruang hidup penuh interaksi. Siswa ikut menentukan tema proyek, berdiskusi terbuka, bahkan menilai pekerjaan mereka sendiri. Hasilnya, rasa memiliki terhadap pembelajaran meningkat.
4. Pembelajaran Kontekstual
Guru sukses mengaitkan pelajaran dengan dunia nyata:
Siswa SD belajar IPA sambil membuat kompos.
Siswa SMP belajar IPS lewat kunjungan ke pasar tradisional.
Siswa SMA belajar fisika dengan mengukur kecepatan kendaraan menggunakan sensor buatan sendiri.
5. Penguatan Karakter
Deep Learning tidak hanya meningkatkan kompetensi akademik, tetapi juga membentuk Profil Pelajar Pancasila—mandiri, kritis, kreatif, gotong royong, beriman, dan menghargai keberagaman.
Strategi Memperkuat Peran Guru
Jika ingin Deep Learning benar-benar mengubah wajah pendidikan, ada beberapa langkah strategis:
Pelatihan Berkelanjutan
Pelatihan tidak boleh hanya sekali atau dua kali. Guru butuh pendampingan rutin tentang metode Deep Learning, asesmen otentik, dan teknologi pembelajaran.
Penguatan Komunitas Guru
MGMP dan KKG perlu dihidupkan kembali sebagai ruang berbagi ide, bukan sekadar forum formalitas.
Penyediaan Infrastruktur Merata
Internet stabil, proyektor, dan ruang kreatif bukan lagi fasilitas mewah, tetapi kebutuhan dasar pendidikan modern.
Pengurangan Beban Administratif
Digitalisasi laporan dan asesmen dapat menghemat waktu guru untuk fokus pada pembelajaran.
Pendekatan Differensiasi
Guru perlu terus dilatih mengidentifikasi kebutuhan unik setiap siswa dan menyesuaikan metode pengajaran.
Penutup
Guru SD, SMP, dan SMA di Indonesia hari ini berada di tengah persimpangan sejarah pendidikan. Mereka dituntut meninggalkan pola lama dan berani berinovasi.
Tantangan yang dihadapi memang nyata: paradigma baru, teknologi, administrasi, keragaman siswa, bahkan peralatan laboratorium IPA di SMA sama sekali tidak memadai, hingga perubahan sistem penilaian.
Namun, di balik itu semua, keberhasilan demi keberhasilan mulai terlihat.
Ada kelas yang berubah dari ruang pasif menjadi ruang hidup, ada siswa yang mulai melihat pelajaran sebagai bagian dari kehidupannya, dan ada guru yang membuktikan bahwa perubahan memang mungkin.
Era Deep Learning adalah kesempatan emas untuk melahirkan generasi pembelajar sepanjang hayat. Guru adalah nahkodanya.
Selama mereka diberi dukungan yang layak—dari pelatihan, fasilitas, hingga kebijakan—maka kapal besar pendidikan Indonesia akan berlayar menuju masa depan yang lebih cerah.
Dan pada akhirnya, keberhasilan Deep Learning tidak hanya akan diukur dari nilai rapor, tetapi dari kualitas manusia Indonesia yang lahir darinya: cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi dunia dengan kepala tegak.
Komentar