Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Pemerintah Kabupaten Fakfak tengah menggelar salah satu proses relokasi pasar paling kompleks dalam sejarah daerah ini.
Di bawah koordinasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan, ratusan pedagang kini diarahkan untuk menempati Pasar Rakyat Tumburuni—sebuah pasar baru yang digadang-gadang menjadi simbol keteraturan ekonomi dan rekonsiliasi sosial di tanah Papua.
Namun lebih dari sekadar pemindahan lokasi, relokasi ini menjadi ujian terbuka bagi pemerintah: mampukah birokrasi bersikap transparan, adil, dan akomodatif terhadap berbagai kelompok, mulai dari pemilik kios lama, pedagang asli Papua (OAP), pelaku UMKM distrik, hingga pemegang hak ulayat?
Verifikasi Ketat, Bukan Sekadar Formalitas
Mohjak Rengen, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Fakfak, menegaskan bahwa distribusi meja dan kios dilakukan berdasarkan data historis dan verifikasi lapangan yang sedang berlangsung.
“Kami minta semua pihak tidak main serobot. Semua harus diverifikasi berdasarkan daftar 444 meja yang tercatat dulu,” katanya saat berdialog langsung dengan pedagang di lokasi pasar.
Menurut Mohjak, proses pendataan ini tidak hanya mencakup validasi data lama, tapi juga menyisir praktik jual-beli meja dan kios yang kerap menimbulkan ketimpangan.
“Kios yang berpindah tangan tanpa prosedur akan kami evaluasi. Prinsipnya: siapa yang berhak, dia yang dapat,” ujarnya.
Perhatian Khusus untuk OAP dan Hak Ulayat
Pemkab Fakfak juga menunjukkan komitmen politik afirmatif terhadap Orang Asli Papua. Dinas mencatat aspirasi DPRK dan tokoh adat dengan menggelar pendataan khusus selama 5 hingga 10 hari untuk memetakan sebaran pedagang OAP.
“Kalau tidak kita deteksi dari sekarang, nanti OAP akan tergusur dari ruang usaha. Ini tanggung jawab sosial pemerintah,” ucap Mohjak.
Dalam alokasi fasilitas, 17 meja dialokasikan khusus untuk kelompok usaha berbasis distrik dan dua kios disiapkan untuk UMKM kampung—sebuah pendekatan desentralisasi kecil dalam distribusi ekonomi.
Representasi Agama dan Sosial dalam Satu Atap
Yang menarik, Pemerintah Fakfak juga memasukkan elemen keadilan simbolik dalam skema alokasi. Satu kios disediakan untuk umat Islam (NU dan Muhammadiyah) dan satu lagi untuk umat Kristen (Protestan dan Katolik).
“Kami ingin menunjukkan bahwa pemerintah berdiri untuk semua. Baik agama, adat, maupun usaha—semua harus diberi ruang,” kata Mohjak.
Langkah ini, menurut beberapa pengamat lokal, bisa menjadi preseden baik dalam tata kelola pasar berbasis multikulturalisme dan inklusivitas.
Zero Toleransi untuk Praktik Curang
Mohjak tak segan mewanti-wanti siapa pun yang mencoba ‘bermain’ dalam proses relokasi ini. Ia secara terbuka meminta masyarakat melaporkan aparat atau oknum yang terlibat dalam praktik tidak adil.
“Kalau ada aparat saya yang bermain, laporkan. Saya panggil dan saya tindak. Pasar ini milik semua,” tegasnya.
Transparansi dalam Angka dan Dokumen
Sebagai bentuk pertanggungjawaban publik, seluruh data hasil verifikasi akan diserahkan ke DPRK dan lembaga adat Fakfak. Pemerintah meyakini bahwa hanya dengan keterbukaan informasi dan keterlibatan berbagai unsur, kepercayaan publik dapat dirawat dan diperkuat.
Proses relokasi sendiri masih berlangsung dan diawasi langsung oleh tim teknis dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Sejumlah pedagang menyambut baik proses ini, meski tidak menampik bahwa masih ada kekhawatiran terkait transparansi dan konsistensi pelaksanaan di lapangan.
Jika proses ini berhasil, Fakfak bisa jadi pionir dalam penataan pasar berbasis keadilan sosial dan kultural di Papua Barat. Tapi jika gagal, luka lama soal ketimpangan dan diskriminasi akan kembali menganga.









Komentar