Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Di bengkel kecil miliknya di Wagom, suara palu dan percikan api bukan hanya menjadi tanda kehidupan, tapi juga saksi perjalanan panjang seorang perantau dari Sidrap yang menjadikan Fakfak sebagai rumah, tempat berjuang, dan ruang pengabdian. Dialah Ridwan, atau yang lebih akrab disapa “Om Botak”.
Lahir pada 10 Januari 1972 di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Ridwan memulai kisah hidupnya dengan sederhana: menjadi murid pamannya yang memiliki bengkel motor resmi. Dari sana, perlahan tapi pasti, ia menempa dirinya dalam dunia teknik otomotif.
Setelah delapan tahun belajar, ia sempat mencoba peruntungan di Pare-Pare selama tujuh bulan, sebelum akhirnya merantau jauh ke Fakfak pada 16 Juni 1996.
Meniti Hidup di Tanah Papua Barat
Setibanya di Fakfak, Ridwan tinggal bersama Haji Sudirman, sembari membantu menjaga toko. Dalam kesederhanaan hidupnya, Ridwan tetap memelihara semangat belajar dan berbuat. Pada tahun 1999, ia resmi membuka bengkel motor di kawasan Torea.
Dengan keuletan dan sikap rendah hati, Ridwan tak hanya dikenal sebagai tukang bemgkel motor, tetapi juga sebagai pribadi yang dipercaya.
Ia bahkan sempat menjabat sebagai Sekretaris Partai PPP Kabupaten Fakfak, sebuah pencapaian yang mengangkatnya dari sekadar pekerja bengkel menjadi bagian penting dalam dinamika politik lokal.
Di Balik Kesuksesan: Perempuan Tangguh dan Anak-anak yang Menguatkan
Ridwan menikah dengan istri tercinta bernama Siti Aisyah. Bersama, mereka dikaruniai lima anak—dua laki-laki dan tiga perempuan. Meskipun anak ketiga mereka telah berpulang lebih dulu, pasangan ini tetap tegar dan bersyukur. Keluarga adalah bahan bakar utama dalam hidup Om Botak.
Sosok-Sosok Pemimpin yang Menginspirasi: Donatus, Wahidin, dan ABT
Dalam kisah hidupnya, Om Botak mengaku terinspirasi pada tiga tokoh besar yang telah membentuk cara pandangnya terhadap kepemimpinan: Donatus Nimbitkendik, Wahidin Puarada, dan Ali Baham Temongmere (ABT).
Donatus Nimbitkendik, baginya, bukan hanya pemimpin—melainkan keluarga.
“Pak Donatus itu punya hati yang lapang. Dia tak pernah melihat orang dari jabatan atau harta, tapi dari ketulusan. Saya ini hanya tukang las, tapi di matanya saya dihargai, dianggap keluarga. Itu luar biasa dan jarang sekali ada pada pemimpin lain,” ujar Om Botak.
Wahidin Puarada, menurutnya, adalah tokoh yang mengajarkan arti silaturahmi dan rendah hati.
“Pak Wahidin itu orangnya merakyat sekali. Dia tahu cara menyapa siapa saja, dari pejabat sampai rakyat kecil. Gaya kepemimpinannya sederhana, tapi menyentuh langsung ke hati,” kenangnya.
Sementara itu, Ali Baham Temongmere (ABT) dikenangnya sebagai sosok dengan kapasitas intelektual luar biasa.
“Pak ABT itu cerdas, sangat luas wawasannya. Tapi yang hebat, meski cerdas, dia tidak sombong. Dia pandai menempatkan diri, bijak dalam menyampaikan pendapat, dan punya visi besar untuk Papua Barat,” kata Om Botak penuh kekaguman.
Percikan Api Las yang Menyulut Harapan
Kini, di usia lebih dari setengah abad, Ridwan masih setia dengan pekerjaannya. Tapi bengkel kecil itu bukan sekadar tempat kerja, melainkan ruang tumbuhnya mimpi, tempat bertemunya cerita, dan saksi bisu betapa seseorang bisa tumbuh menjadi figur penting—asal ia setia pada kerja keras, kesederhanaan, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kisah Om Botak bukan hanya tentang besi dan percikan api. Ini adalah cerita tentang ketulusan seorang perantau, tentang pemimpin yang punya hati, dan tentang bagaimana seorang pria biasa bisa menjadi luar biasa karena dikelilingi oleh pribadi-pribadi yang menginspirasi.









Komentar