Kabarsulsel-Indonesia.com | Opini – Di tengah deretan nama besar pahlawan bangsa seperti Ki Hajar Dewantara, R.A. Kartini, KH Ahmad Dahlan, Dewi Sartika, dan KH Hasyim Asy’ari—masih adakah yang mengenal nama Phoa Keng Hek?
Namanya nyaris tak terdengar, bahkan di tengah komunitas Tionghoa sendiri. Namun, peran dan jasa besar yang ditorehkannya bagi negeri ini, tak terbantahkan.
Ia adalah pelopor pendidikan modern di Hindia Belanda, jauh sebelum lahirnya sekolah-sekolah nasional seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, maupun Nahdlatul Ulama.
Pada tahun 1901, Phoa Keng Hek mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK)—organisasi sosial dan pendidikan yang berfokus pada kemajuan etnis Tionghoa melalui dunia pendidikan dan kebudayaan.
Dalam kurun waktu singkat, THHK berhasil mendirikan lebih dari 130 sekolah di berbagai wilayah Nusantara. Ini adalah prestasi monumental dalam sejarah pendidikan nasional, namun masih luput dari perhatian banyak orang.
Bukan Sekadar Dermawan, Tapi Pejuang Moral
Lahir di Bogor pada tahun 1857 dari keluarga terpandang—ayahnya Phoa Tjong Tjay adalah Letnan Tionghoa di Jatinegara—Phoa Keng Hek tumbuh menjadi sosok yang tak hanya cerdas, namun berhati besar.
Kekayaannya tak disimpan untuk mempertebal gengsi, tapi digunakan untuk membangun sekolah, membantu sesama, dan menyelamatkan banyak jiwa dari belenggu kebodohan dan kemiskinan.
Salah satu kisah paling fenomenal dari dirinya adalah saat ia meminta pemerintah kolonial Belanda untuk menutup kasino dan tempat perjudian yang dianggapnya merusak moral rakyat. Pemerintah tentu menolak—karena tempat judi adalah ladang pemasukan besar negara.
Tapi Phoa Keng Hek tak gentar. Ia menawarkan diri untuk mengganti seluruh pendapatan yang hilang dari penutupan itu dengan uang pribadinya.
Sebuah tindakan tak masuk akal, sekaligus luar biasa. Siapa yang bisa membayangkan, seorang konglomerat menyumbang begitu besar demi menyelamatkan rakyat dari jerat judi?
Kontribusi Nyata dalam Lahirnya ITB
Tak berhenti di sana. Phoa Keng Hek bersama dua tokoh Tionghoa lain, H.H. Kan dan Nio Hoey Oen, juga berjasa besar dalam pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng—cikal bakal Institut Teknologi Bandung (ITB).
Mereka berhasil menggalang dana sebesar 500 ribu gulden untuk merealisasikan sekolah teknik tersebut, sesuatu yang bahkan tak mampu dilakukan oleh pemerintah kolonial sendiri. Tanpa mereka, mungkin ITB tak akan pernah berdiri seawal itu.
Ironisnya, ketika ditawari jabatan tinggi sebagai Kapiten Tionghoa—gelar prestisius yang sangat diincar banyak orang—Phoa menolak. Ia memilih jalan sunyi. Baginya, kepemimpinan bukan soal kekuasaan, tapi keteladanan.
Saatnya Bangsa Ini Mengingat
Jejak perjuangan Phoa Keng Hek seharusnya ditulis dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia. Ia bukan sekadar tokoh Tionghoa—ia adalah tokoh bangsa. Sosok yang membuktikan bahwa cinta tanah air tak dibatasi oleh etnis, agama, atau asal-usul.
Kini, saat Indonesia terus berjuang melawan lupa, sudah waktunya nama Phoa Keng Hek kembali diangkat ke permukaan.
Ia adalah simbol dari semangat gotong royong lintas etnis, dari kasih untuk sesama, dari cita-cita luhur tentang pendidikan sebagai jalan pembebasan.
Mari kabarkan kisah ini. Karena kita sebangsa, setanah air, dan setara.
Merdeka!
Sumber Referensi :
- Riwajat 40 Taon THHK Batavia
- Memoar Ang Yan Goan
Koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa azmiabubakar museumpustakaperanakantionghoa






Komentar