DILEMA PENGHENTIAN GURU PENGGERAK PASCA DIBERLAKUKANNYA KURIKULUM 2025 DENGAN PENDEKATAN AI DAN CODING

OPINI110 views

Oleh: Gerry Ubra,S.Pd,Gr (Guru SMA Negeri 1 Tual)

Kabarsulsel-Indonesia.com | Opini – Dunia Pendidikan Indonesia saat ini sementara memasuki masa Dimana Transformasi pendidikan nasional kembali menjadi sorotan dengan diberlakukannya Kurikulum 2025 yang mengusung pendekatan berbasis Artificial Intelligence (AI) dan coding.

Di tengah euforia digitalisasi pendidikan, muncul satu dilema besar: penghentian secara bertahap program Guru Penggerak, yang selama ini dianggap sebagai ujung tombak perubahan pendidikan di lapangan.

Kurikulum 2025 tentu membawa semangat baru. Di tengah revolusi teknologi yang terus berkembang, kemampuan coding dan pemanfaatan AI bukan lagi opsi, melainkan kebutuhan.

Pemerintah tampaknya ingin mencetak generasi muda yang tidak hanya adaptif, tapi juga kompetitif di pasar global. Namun, dalam proses akselerasi ini, kita tidak bisa menutup mata bahwa ada aspek-aspek penting yang berisiko terpinggirkan—salah satunya adalah peran Guru Penggerak.

Guru Penggerak bukan hanya guru yang mengajar, tetapi juga memimpin, menginspirasi, dan membentuk karakter siswa.

Mereka dibina untuk menjadi agen transformasi budaya belajar di sekolah—peran yang tak bisa digantikan hanya dengan teknologi. Ketika program ini dihentikan dengan alasan “kurang relevan” di era digital, sesungguhnya kita sedang menghadapi risiko dehumanisasi pendidikan.

Dampak Positif Kurikulum 2025 dengan AI dan Coding

Tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak manfaat dari pendekatan baru ini.

Pertama, siswa akan lebih siap menghadapi dunia kerja masa depan, di mana keterampilan digital sangat dibutuhkan.

Kedua, pembelajaran menjadi lebih personal dan efisien berkat bantuan teknologi berbasis AI yang mampu menyesuaikan materi dengan kebutuhan masing-masing siswa.

Ketiga, inovasi dalam sistem pembelajaran akan meningkat karena guru dan siswa didorong untuk berpikir kreatif dan solutif.

Dampak Negatif Penghentian Guru Penggerak

Namun di balik semua itu, penghentian Guru Penggerak membawa sejumlah dampak negatif yang tidak bisa diabaikan.

Pertama, ada potensi melemahnya kepemimpinan pendidikan di tingkat sekolah. Guru Penggerak selama ini menjadi inspirator, pembaharu, dan penghubung antara kebijakan pusat dengan realita di kelas.

Kedua, kesenjangan kompetensi digital antar daerah bisa semakin lebar. Tidak semua guru siap beralih ke teknologi tinggi secara instan, dan tidak semua wilayah memiliki infrastruktur yang memadai.

Ketiga, ada risiko hilangnya nilai-nilai kearifan lokal dan empati dalam pendidikan, karena pendekatan teknologi yang cenderung mekanistik bisa menggantikan relasi guru-siswa yang humanis dan kontekstual.

Kesimpulan: Maju, Tapi Jangan Lupa Akar

Revolusi pendidikan berbasis AI dan coding adalah langkah penting. Namun, dalam merancang masa depan, kita tidak boleh melupakan akar. Guru Penggerak adalah fondasi yang telah dibangun dengan biaya, waktu, dan semangat perubahan yang besar. Alih-alih menghentikannya, mengapa tidak mengintegrasikan peran mereka dalam konteks baru?

Mereka bisa menjadi jembatan antara teknologi dan nilai-nilai pendidikan yang luhur. Mereka bisa menjadi fasilitator perubahan, bukan korban kebijakan. Maju dengan teknologi, tapi jangan kehilangan sisi kemanusiaan. Itulah esensi pendidikan sejati, Terimakasih.

Komentar