Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Gelombang kekecewaan masyarakat adat di Kampung Thesa, Distrik Bomberay, Fakfak, kini berubah menjadi ancaman nyata terhadap kelangsungan operasional PT. Rimbun Sawit Papua (RSP).
Perusahaan perkebunan sawit yang sudah beroperasi sejak 2014 itu dinilai telah melakukan pelanggaran sistematis terhadap komitmen sosial, etika bisnis, dan regulasi negara.
Puncak kekecewaan itu meledak saat Bupati Fakfak, Samaun Dahlan, mengunjungi Kampung Thesa pada senin, (19/05) untuk meninjau jeti pengangkut hasil olahan sawit (CPO).
Didampingi sejumlah pejabat teknis seperti Kadis Perkebunan Widhi Asmoro Jati, S.T., M.T., Kadis Pertanian Moh. Soleh, dan Kepala Distrik Bomberay, kunjungan itu justru menjadi momen pembongkaran praktik bisnis culas PT. RSP.
Perwakilan masyarakat, Harim Sazim, secara tegas mengungkapkan niat warga untuk melakukan pemalangan jalan akses menuju jeti. Ini bukan gertakan kosong.
Menurut Harim, PT. RSP telah berulang kali mengingkari janji dan menelantarkan kewajiban-kewajiban fundamental terhadap masyarakat adat pemilik hak ulayat.
“Tidak ada penerangan desa, tidak ada tanggung jawab sosial yang nyata, dan yang paling parah: 20 persen lahan plasma yang seharusnya jadi hak kami sampai hari ini tidak pernah ada. Ini pelanggaran berat!” seru Harim Sazim di hadapan Bupati dan pihak perusahaan.
Padahal kewajiban pembangunan kebun plasma bukan sekadar komitmen moral, tetapi kewajiban hukum. Hal ini telah diatur secara eksplisit dalam:
- Pasal 58 ayat (1) dan (2) UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang mewajibkan perusahaan memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar.
- Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007 yang mewajibkan perusahaan perkebunan menyediakan minimal 20% lahan dari total Hak Guna Usaha (HGU) untuk kebun plasma masyarakat.
- Pasal 55 dan 56 UU Perkebunan, yang menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap prinsip kemitraan dan hak masyarakat dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran, denda, pembekuan hingga pencabutan izin usaha.
Jika dibiarkan, tindakan PT. RSP ini juga berpotensi melanggar hak konstitusional masyarakat hukum adat sebagaimana dijamin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan tanah adat bukan bagian dari tanah negara.
Selain itu, potensi pidana lingkungan dan penelantaran tanggung jawab sosial (CSR) juga membayangi perusahaan jika terbukti mengabaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan rekomendasi perizinan yang menyertakan kewajiban kemitraan dengan masyarakat.
Merespons laporan dan tekanan masyarakat, Bupati Samaun Dahlan secara tegas memerintahkan agar pihak PT. RSP dan aparat distrik segera menggelar pertemuan darurat dengan para pemilik hak ulayat, tokoh adat, dan tokoh masyarakat untuk menyelesaikan masalah secara menyeluruh.
“Kalau tidak ada langkah konkret, saya tidak akan segan merekomendasikan evaluasi serius terhadap izin usaha RSP. Pemerintah hadir untuk melindungi rakyat, bukan jadi tameng bagi perusahaan nakal,” tegas Bupati.
Situasi ini semakin menekan pihak RSP, yang kini menghadapi ancaman pemalangan, gugatan hukum, hingga evaluasi perizinan.
Jika perusahaan tidak segera memenuhi kewajiban plasma dan tanggung jawab sosialnya, bukan hanya akses operasional yang akan ditutup masyarakat, tetapi juga potensi pencabutan izin oleh pemerintah pusat makin terbuka lebar.
PT. RSP kini berada di persimpangan jalan: patuh dan bertanggung jawab, atau angkat kaki dari tanah adat Thesa dan menghadapi konsekuensi hukum yang berat.
Komentar