Maluku Barat Daya Kabarsulsel-Indonesia.com | Lebih dari setahun berlalu sejak gempa mengguncang kawasan Dawelor-Dawera pada 10 Januari 2023, namun janji pemulihan dari pemerintah belum juga berujung pada keadilan.
Bantuan yang seharusnya diterima korban justru menuai kekecewaan mendalam. Dugaan manipulasi data penerima bantuan mencuat, menyingkap potensi penyimpangan sistematis yang dilakukan oleh oknum pejabat daerah.
“Nama kami tiba-tiba hilang dari daftar penerima bantuan. Ini bukan lagi kelalaian, tapi dugaan skenario busuk yang melukai kami sebagai korban,” tegas Cak Wutwensa, salah satu warga terdampak gempa, saat dihubungi via telepon.
Menurut Wutwensa, pendataan awal dilakukan secara resmi oleh tim dari Dinas PUPR, BPBD, dan Dinas Sosial Kabupaten Maluku Barat Daya. Tim itu disebut datang dengan biaya negara dan mandat yang jelas.
Namun kenyataan pahit menampar warga ketika nama mereka lenyap dari daftar bantuan tanpa alasan yang jelas.
“Ada 12 keluarga yang dikeluarkan diam-diam dari daftar. Termasuk Piliks Talalus, Wardilianus Erleli, dan Barce Awewra. Kami bukan objek eksperimen anggaran. Ini bencana, bukan proyek,” ujar Wutwensa dengan suara gemetar dan mata berkaca-kaca. Ia bahkan mengancam akan membawa kasus ini ke jalur hukum.
Ia mengungkapkan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, pemerintah pusat telah mengucurkan dana sebesar Rp3,720,000,000 untuk penanganan pascabencana melalui BNPB.
“Kalau bukan karena gempa, kami tidak akan tahu bahwa anggaran sebesar itu pernah ada. Tapi sekarang, bantuan seperti disunat, pencairan lamban, dan pengawasan lemah,” katanya geram.
Ia pun meminta KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian turun tangan mengawasi dugaan penyalahgunaan anggaran tersebut.
Sementara itu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) BPBD Kabupaten Maluku Barat Daya, Angky Letlora, ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya (2/5/2025), menyampaikan bahwa pencairan bantuan sedang dalam proses melalui rekening masing-masing kepala keluarga.
Dari total 187 kepala keluarga penerima, baru sekitar 40 persen dana yang disalurkan. Sisanya menunggu rekomendasi camat dan kelengkapan administrasi desa.
Namun ketika ditanya soal data lengkap penerima bantuan, Letlora menolak memberikan informasi. “Itu rahasia,” ujarnya singkat.
Sikap ini jelas bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam kondisi bencana, transparansi bukan hanya keharusan, tapi penyambung nyawa bagi warga terdampak.
Di tengah kesulitan membangun kembali rumah dan kehidupan, korban bencana justru harus menghadapi birokrasi berliku dan diduga praktik culas yang mengaburkan hak mereka.
Publik menanti, apakah aparat penegak hukum akan menutup mata, atau mulai menelusuri aliran dana yang menyimpan banyak tanda tanya.
Writter : EM | Editor : Red
Komentar