OTSUS YANG MEMBEBASKAN

Oleh : Lamekh Dowansiba (Tokoh Publik Papua Barat)

Opini, Kabarsulsel-Indonesia.com | Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Nomor 21 Tahun 2001 merupakan kebijakan istimewa dari pemerintah pusat yang diberikan khusus kepada masyarakat asli Papua.

Kebijakan ini lahir sebagai respons atas gejolak politik dan sosial yang berkepanjangan di Tanah Papua, dengan harapan mampu membawa kesejahteraan, kemakmuran, dan percepatan pembangunan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Secara substantif, Otsus mengedepankan empat pilar utama pembangunan: infrastruktur, ekonomi kerakyatan, pendidikan, dan kesehatan. Keempatnya menjadi prioritas yang harus dijalankan secara berkelanjutan oleh seluruh provinsi di Tanah Papua demi mewujudkan cita-cita kesejahteraan bagi masyarakat asli Papua.

Namun, setelah lebih dari dua dekade diberlakukan, realitas di lapangan masih jauh dari harapan. Harapan besar yang disematkan pada Otsus belum sepenuhnya menjelma menjadi kenyataan. Implementasi kebijakan, alokasi anggaran, dan regulasi pendukung belum memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas hidup masyarakat Papua. Bahkan, ketika Otsus memasuki fase kedua melalui UU Nomor 2 Tahun 2021, banyak persoalan mendasar belum juga tersentuh secara serius.

Indikator pembangunan seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih menunjukkan posisi Papua berada di urutan terbawah nasional. Berdasarkan data BPS 2024, IPM Papua Pegunungan hanya mencapai 53,42%, Papua Tengah 59,75%, Papua Barat 67,02%, Papua Barat Daya 68,63%, Papua Selatan 67,90%, dan Papua 73,00%. Angka-angka ini menjadi cermin bahwa Otsus belum mampu mengangkat derajat masyarakat asli Papua secara merata.

Ketimpangan ini terlihat jelas dalam berbagai aspek, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga ketersediaan infrastruktur dasar. Sebagai contoh, dunia pendidikan masih bergulat dengan rendahnya akses, kualitas, dan partisipasi. Padahal pendidikan merupakan fondasi penting dalam membebaskan masyarakat dari lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan.

Dalam semangat Otsus, pemerintah daerah di Tanah Papua seharusnya memiliki kewenangan lebih luas untuk mengelola kekayaan sumber daya alam demi kemakmuran rakyatnya. Otsus menempatkan masyarakat asli Papua tidak hanya sebagai objek pembangunan, melainkan subjek utama yang menentukan arah pembangunan sesuai konteks lokal, budaya, dan adat istiadat yang hidup dan tumbuh di Papua.

Aspek penting lain yang tidak boleh diabaikan adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak adat. Masyarakat hukum adat Papua, sebagai bagian dari 19 lingkungan hukum adat di Indonesia sebagaimana diteorikan oleh Prof. Van Vollenhoven, layak mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara. UU Otsus semestinya menjadi instrumen afirmatif dan protektif yang menjamin eksistensi dan masa depan masyarakat hukum adat Papua.

Otsus yang membebaskan harus dimaknai sebagai kebijakan afirmatif dan preventif untuk masa depan masyarakat Papua. Keistimewaan yang diberikan melalui Otsus harus dikelola secara bijak dan berpihak pada rakyat, bukan hanya menjadi agenda politik atau proyek elite semata. Otsus harus menjadi jembatan emas yang membawa masyarakat Papua keluar dari kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan, serta memberi ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan, kesetaraan gender, dan representasi politik.

Otsus bukanlah kutukan atau sumber malapetaka. Otsus adalah peluang—sebuah privilese konstitusional yang harus diwujudkan menjadi harapan nyata. Ia harus membebaskan, bukan membelenggu. Ia harus memerdekakan, bukan mendominasi.

Solusi dan Rekomendasi

Dalam rangka menyelesaikan kompleksitas persoalan Papua, berikut beberapa tawaran solusi yang perlu segera dipertimbangkan pemerintah pusat dan daerah:

  1. Evaluasi Total UU Otsus : Pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Otsus jilid I dan II, untuk menilai keberhasilan, kegagalan, dan celah yang perlu diperbaiki.
  2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi : Segera bentuk komisi independen untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM di Papua sebagai langkah rekonsiliasi nasional.
  3. Penguatan Perdasi dan Perdasus : UU Otsus harus ditopang oleh peraturan daerah khusus yang kuat, guna menjamin perlindungan hukum, hak kesulungan, dan kearifan lokal masyarakat Papua.
  4. Dana Otsus Terpisah dari APBD : Perlu ada aturan khusus yang mengatur penggunaan dana Otsus secara terpisah dari APBD, agar fokus pada sektor-sektor prioritas dan pengelolaan anggaran lebih transparan dan akuntabel.

Pada akhirnya, Otsus yang membebaskan adalah Otsus yang hadir dan dirasakan secara langsung oleh masyarakat asli Papua. Otsus bukan hanya soal anggaran, tapi soal keadilan, pengakuan, dan penghormatan terhadap identitas dan martabat masyarakat Papua.

Komentar