Membangun Pendidikan Bermutu di Tanah Papua: Pembelajaran Berbasis Bukti dan Literasi Riset

OPINI487 views

Oleh : Ferdinandus Nauw *)

Pendahuluan: Pendidikan sebagai Jalan Pembebasan di Papua

Pendidikan, sebagaimana diungkapkan Paulo Freire, adalah alat pembebasan yang memungkinkan manusia menemukan potensi sejati mereka, bukan sekadar “dijinakkan” oleh sistem. Di Tanah Papua, pendidikan harus menjadi katalisator kemandirian, menghormati identitas budaya, dan memperkuat kohesi sosial dalam masyarakat multikultural. Namun, tantangan seperti kesenjangan akses pendidikan, minimnya Guru Orang Asli Papua (OAP), dan keterbatasan infrastruktur menuntut pendekatan berbasis bukti ilmiah dan literasi riset.

Penelitian oleh Nila Tanzil (2020) mengungkapkan bahwa anak-anak di Indonesia Timur, termasuk Papua, menghadapi tantangan multisektoral, seperti minimnya fasilitas perpustakaan dan buku bacaan, yang berkontribusi pada tingkat literasi terendah di Indonesia (hanya 26 kata per menit dibandingkan 50 kata per menit di kota besar). Pembelajaran Berbasis Bukti menawarkan strategi pengajaran yang terbukti efektif, sementara literasi riset memberdayakan guru untuk berinovasi dan pembuat kebijakan untuk merancang sistem pendidikan inklusif. Artikel ini memandu guru untuk menerapkan praktik berbasis bukti di kelas dan mengajak pembuat kebijakan untuk membangun ekosistem pendidikan yang mendukung visi Otonomi Khusus (Otsus) dan kearifan lokal, seperti filosofi “Satu Tungku Tiga Batu” dalam sistem sosial masyarakat Fakfak yang menekankan harmoni dan gotong royong.

Urgensi Pembelajaran Berbasis Bukti di Papua

Penelitian global oleh John Hattie (2009) menunjukkan bahwa strategi seperti umpan balik spesifik, strategi metakognitif, dan self-reported grades dapat meningkatkan hasil belajar hingga dua kali lipat. Education Endowment Foundation (EEF) mengidentifikasi retrieval practice dan spaced learning sebagai metode efektif untuk retensi jangka panjang. Namun, di Papua, pendekatan ini perlu diadaptasi dengan konteks lokal, seperti keberagaman bahasa (428 bahasa daerah, dua di antaranya punah: Tandia dan Mawes) dan keterbatasan akses teknologi (hanya 30% sekolah dengan akses internet memadai).

Penelitian oleh Indah Pratiwi dari Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak) Kemendikbud (2021) menyoroti bahwa Uji Kompetensi Guru (UKG) di Papua sering kali tidak efektif karena hanya mengukur kompetensi pedagogik dan profesional tanpa mempertimbangkan kompetensi sosial-budaya yang relevan untuk konteks multikultural. Pendekatan berbasis bukti dapat mengatasi tantangan seperti tingkat putus sekolah yang tinggi (terutama di pedalaman) dengan memprioritaskan strategi yang kontekstual, seperti pembelajaran berbasis budaya lokal.

Bagi Guru: Strategi berbasis bukti memungkinkan pengajaran efektif meski dengan sumber daya terbatas, sambil menghormati identitas siswa Papua.

Bagi Pembuat Kebijakan: Pelatihan berbasis bukti yang terintegrasi dengan kebijakan Otsus dapat mempercepat pemerataan pendidikan.

Literasi Riset: Memberdayakan Guru dan Kebijakan Inklusif

Literasi riset, menurut Brown & Zhang (2017), adalah kemampuan mengakses, mengevaluasi, dan menerapkan hasil penelitian dalam praktik pengajaran. Di Papua, literasi riset memungkinkan guru untuk:

  • Menghindari praktik tidak efektif, seperti pengajaran yang terlalu tekstual.
  • Merancang pembelajaran berbasis budaya, misalnya menggunakan seni sastra lisan MOP (humor dan satire khas Papua) untuk meningkatkan keterlibatan siswa.
  • Melakukan refleksi berbasis data, seperti menganalisis hasil kuis untuk menyesuaikan strategi.

Penelitian oleh Evelien Fitri Ugadnje (2022), dosen di Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Burere Sentani, menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis muatan lokal, seperti penggunaan bahasa daerah Sentani Timur, dapat memperkuat revitalisasi budaya dan keterlibatan siswa.

Riset lain oleh Hans Imbiri dari Yayasan Suluh Insan Lestari (SIL) (2022) menegaskan pentingnya kolaborasi antara Balai Bahasa Papua dan komunitas lokal untuk mengintegrasikan bahasa daerah dalam kurikulum. Di Fakfak, guru dapat mengembangkan pembelajaran berbasis proyek yang mengangkat nilai “Satu Tungku Tiga Batu”, seperti kegiatan kolaboratif dengan komunitas adat.

Bagi Guru: Literasi riset menjadikan Anda “ilmuwan kelas” yang menciptakan pembelajaran bermakna.

Bagi Pembuat Kebijakan: Pelatihan literasi riset untuk Guru OAP dan akses ke sumber riset mendukung afirmasi Otsus.

Strategi Praktis untuk Guru di Papua

Berikut adalah empat strategi berbasis bukti yang relevan untuk kelas-kelas Papua, dengan contoh yang mengintegrasikan budaya lokal:

  1. Retrieval Practice (Latihan Mengingat Kembali) Bukti: Roediger & Butler (2011) menunjukkan bahwa mengingat kembali memperkuat memori. Contoh Praktis: Dalam pelajaran sejarah di SD Sorong, guru dapat mengadakan kuis mingguan tentang peran suku Moi dalam perdagangan sagu, menggunakan cerita MOP untuk membuatnya interaktif. Penelitian oleh Ria Wulandari (2024) dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo menunjukkan bahwa pembiasaan membaca berbasis budaya lokal meningkatkan minat baca siswa. Manfaat: Meningkatkan retensi dan memperkuat identitas budaya.
  2. Spaced Learning (Belajar Berkala) Bukti: Cepeda et al. (2006) membuktikan belajar berkala lebih efektif. Contoh Praktis: Guru matematika di SMP pedalaman Merauke dapat mengajarkan pecahan dalam sesi pendek selama beberapa minggu, dengan ulasan melalui permainan berbasis kearifan lokal, seperti menghitung hasil panen noken. Manfaat: Membantu siswa dengan akses terbatas menguasai konsep bertahap.
  3. Interleaving (Pengacakan Topik) Bukti: Taylor & Rohrer (2010) menemukan pengacakan topik meningkatkan pemahaman. Contoh Praktis: Dalam pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Jayapura, guru dapat memberikan latihan soal yang menggabungkan kosa kata, tata bahasa, dan analisis puisi Papua, seperti karya John Waromi. Manfaat: Mendorong fleksibilitas berpikir di konteks multikultural.
  4. Formative Assessment dan Umpan Balik Bukti: Sadler (1989) menegaskan umpan balik spesifik mempercepat pembelajaran. Contoh Praktis: Setelah tugas membuat cerita MOP di Biak, guru memberikan umpan balik tertulis, seperti “Ceritamu lucu, tambahkan detail budaya Biak untuk memperkuat pesan.” Penelitian oleh Muhamad Bill Robby dkk. (2020) dari PUSKAPA menunjukkan bahwa umpan balik berbasis budaya meningkatkan motivasi siswa. Manfaat: Membantu siswa merefleksi dan merasa dihargai.

Tips untuk Guru: Mulailah dengan kuis MOP mingguan, gunakan sumber gratis seperti Google Scholar atau repositori Kemendikbudristek (repositori.kemdikbud.go.id), dan libatkan komunitas adat.

Membangun Ekosistem Pendidikan Berbasis Riset di Papua

Keberhasilan pembelajaran berbasis bukti membutuhkan ekosistem yang mendukung. Berdasarkan penelitian dan konteks Papua, tiga elemen kunci adalah:

  1. Kepemimpinan Transformasional Leithwood et al. (2006) menekankan pentingnya kepala sekolah yang mendorong kolaborasi. Penelitian oleh Yendri Wirda (2021) dari Puslitjak menunjukkan bahwa pelatihan kepala sekolah di Papua sering tidak efektif karena keterbatasan akses transportasi dan internet. Rekomendasi Kebijakan: Latih kepala sekolah OAP untuk memimpin professional learning communities (PLC) berbasis “Satu Tungku Tiga Batu” melalui pelatihan hybrid (daring dan luring).
  2. Komunitas Belajar Profesional (PLC) Stoll et al. (2006) menegaskan PLC memperkuat inovasi guru. Penelitian oleh Iskandar (2021) dari Puslitjak menyarankan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sebagai wadah kolaborasi berbasis pendekatan STEM yang kontekstual. Rekomendasi Kebijakan: Alokasikan dana Otsus untuk PLC berbasis budaya Papua, seperti pengembangan materi MOP, dan kembangkan platform digital berbasis Merdeka Belajar.
  3. Akses ke Sumber Riset dan Infrastruktur Data BPS menunjukkan hanya 30% sekolah di Papua memiliki akses internet memadai, menghambat akses riset. Penelitian oleh Goldy Dharmawan (2020) dari Puslitjak menyoroti perlunya infrastruktur TIK untuk mendukung kebijakan berbasis bukti. Rekomendasi Kebijakan: Kembangkan portal riset pendidikan nasional dengan modul berbasis budaya Papua, dan alokasikan dana Otsus (misalnya, Rp 20 miliar) untuk TIK di sekolah pedalaman.

Contoh Lokal: Program Guru Penggerak di Papua Barat telah memperkenalkan penelitian tindakan kelas, tetapi hanya 50,8% pejabat struktural pendidikan di Fakfak adalah OAP. Kebijakan afirmasi, seperti beasiswa untuk Guru OAP (target 80% sertifikasi pada 2030), dapat mempercepat kemajuan.

Penutup: Kelas sebagai Laboratorium Pembebasan Papua

Pendidikan di Tanah Papua harus menjadi alat pembebasan yang menghormati identitas budaya dan mendorong kemandirian, sebagaimana diimpikan dalam nubuatan Domine Isaak Kijne dan pemikiran Paulo Freire. Dengan pembelajaran berbasis bukti, guru menjadi ilmuwan praktis yang menjadikan kelas sebagai laboratorium peradaban. Dengan literasi riset, mereka merancang pembelajaran kontekstual, seperti mengintegrasikan MOP atau “Satu Tungku Tiga Batu”. Bagi pembuat kebijakan, mendukung Guru OAP melalui kebijakan afirmasi Otsus adalah langkah menuju pendidikan adil dan bermutu.

Tindakan Nyata untuk Guru:

  • Terapkan retrieval practice dengan kuis MOP mingguan dan catat hasilnya di PLC.
  • Akses repositori Kemendikbudristek atau Google Scholar untuk sumber riset gratis.

Tindakan Nyata untuk Pembuat Kebijakan:

  • Luncurkan pelatihan berbasis bukti untuk Guru OAP, targetkan 80% sertifikasi pada 2030.
  • Bangun portal riset pendidikan dan alokasikan dana Otsus untuk infrastruktur TIK.Mari wujudkan pendidikan di Tanah Papua yang bermutu, membebaskan, dan berpijak pada bukti, diterangi oleh budaya, dan didorong oleh kemandirian.

*******

*) Penulis adalah Guru, Kepala Sekolah, Pemerhati Pendidikan di Fakfak Papua Barat

 

Referensi

  • Brown, C., & Zhang, D. (2017). Improving teacher engagement with research: An evaluation of the Research Learning Communities approach. Journal of Education for Teaching.
  • Cepeda, N. J., et al. (2006). Distributed practice in verbal recall tasks: A review and quantitative synthesis. Psychological Bulletin.
  • Godfrey, D. (2016). Leadership of schools as research-led organizations. Educational Management Administration & Leadership.
  • Hattie, J. (2009). Visible Learning. Routledge.
  • Leithwood, K., et al. (2006). Successful school leadership: What it is and how it influences pupil learning.
  • Pashler, H., et al. (2008). Learning Styles: Concepts and Evidence. Psychological Science in the Public Interest.
  • Roediger, H. L., & Butler, A. C. (2011). The critical role of retrieval practice in long-term retention. Trends in Cognitive Sciences.
  • Sadler, D. R. (1989). Formative assessment and the design of instructional systems. Instructional Science.
  • Stoll, L., et al. (2006). Professional Learning Communities: A review of the literature. Journal of Educational Change.
  • Taylor, K., & Rohrer, D. (2010). The effects of interleaved practice. Applied Cognitive Psychology.

Indonesia/Papua-Specific References:

  • Imbiri, H. (2022). Revitalisasi bahasa daerah di Papua melalui kolaborasi dengan Balai Bahasa Papua. Dalam Rapat Koordinasi Implementasi Pelindungan Bahasa Daerah di Provinsi Papua. Kemendikbudristek.
  • Nauw, F. (2025). Membangun Pendidikan Berbasis Budaya “Satu Tungku Tiga Batu” di Kabupaten Fakfak: Belajar dari Konsep Pendidikan Suku Maori di Selandia Baru. Artikel Pendidikan. Kompasiana.
  • Pratiwi, I. (2021). Analisis regulasi yang menghambat kreativitas dan inovasi pembelajaran. Pusat Penelitian Kebijakan, Kemendikbud.
  • Robby, M. B., Anindya, C. R., & Amanda, P. K. (2020). Rekomendasi sistem pendidikan untuk pencegahan ideologi kekerasan. The Conversation Indonesia.
  • Tanzil, N. (2020). Tantangan literasi di Indonesia Timur: Studi kasus Nusa Tenggara Timur dan implikasinya untuk Papua. Indeks Aktivitas Literasi Membaca, Kemendikbud.
  • Ugadnje, E. F. (2022). Strategi pembelajaran berbasis muatan lokal untuk revitalisasi budaya di Sentani. Dalam Rapat Koordinasi Implementasi Pelindungan Bahasa Daerah di Provinsi Papua. Kemendikbudristek.
  • Wirda, Y. (2021). Evaluasi efektivitas pelatihan guru di daerah kepulauan. Pusat Penelitian Kebijakan, Kemendikbud.
  • Wulandari, R. (2024). Urgensi literasi budaya dan kewargaan bagi sekolah dasar di era digitalisasi. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

 

Komentar