Kabarsulsel-indonesia.com | Bantaeng -Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diinformasikan pada Januari 2025 bukanlah kabar terakhir. Kembali, 15 orang kehilangan pekerjaan. Mereka merupakan buruh dari perusahaan nikel PT. Huadi Wuzhou Nickel Industry, perusahaan satu grup dengan Huadi.
Saya merasa dirugikan oleh PHK yang dilakukan oleh perusahaan. Saya sudah bekerja tiga tahun setengah dan merasa masih ingin bekerja karena masih banyak tanggungan yang perlu saya bayarkan,”_ Muhammad Awaluddin karyawan PT. Wuzhou Nickel Industry.
Sebelumnya, pada tahun 2024 hingga 2025, PT. Huadi Group Bantaeng telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara bertahap. Pada akhir Desember 2024, sebanyak 19 buruh mengalami PHK, disusul awal Januari 2025 sebanyak 15 buruh. Kemudian, Gelombang PHK terus berlanjut hingga awal Maret 2025, dengan tambahan 24 buruh yang diputus kontraknya. Dan baru-baru ini pada bulan April 2025 terdapat 15 pekerja yang kembali di PHK hingga total 73 buruh yang terkena PHK.
Persoalan mengenai pemutusan hubungan kerja tentu sangat dirasakan oleh para buruh yang menggantungkan mata pencaharian mereka sebagai pekerja di perusahaan. Namun, aktivitas padat pekerjaan mereka seringkali berbanding terbalik dengan upah yang jauh dari kata layak.
Buruh seringkali diminta lembur tanpa kontrak yang jelas dan pengabaian upah lembur sebagai hak dikesampingkan oleh perusahaan.
Keputusan pemutusan hubungan kerja harus menjadi pilihan terakhir yang dilakukan oleh Perusahaan. Merujuk pada aturan perundang-undangan, Perusahaan bersama dengan pekerja, wajib untuk mengusahakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja,”_ ujar Hasbi Assidiq, Koordinator Bidang Ekosob LBH Makassar.
Selain itu cukup pelik jika melihat skema jam kerja di Perusahaan. Buruh tidak diberi pilihan, diminta untuk bekerja melebihi jam kerja yang tertuang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Buruh bekerja dengan sistem shift 12 jam kerja, seharinya, dalam seminggu pekerja bisa masuk 5 kali shift dengan jam kerja mencapai 60 jam dalam seminggu.
Merujuk pada aturan, jam kerja normal dibatasi hanya 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Sehingga kelebihan jam kerja 4 jam sehari dan 20 jam selama seminggu harus dikategorikan sebagai lembur dan mendapat skema upah lembur sesuai dengan aturan.
Hak yang melekat pada upah lembur adalah dua hal yang terpisah dengan PHK. Perusahaan harus terlebih dahulu secara adil memberikan hak upah lembur kepada buruh sesuai dengan pekerjaan di waktu lembur yang telah mereka laksanakan.
Kini, persoalan yang dihadapi warga sekitar tidak hanya soal pencemaran udara akibat debu, air, bau menyengat dan kebisingan yang mengganggu kenyamanan serta kesehatan mereka. Warga juga diperhadapkan pada beban sosial-ekonomi yang kian berat, terutama dengan terjadinya gelombang PHK massal yang terus berulang.
PHK yang dilakukan secara sepihak ini memperlihatkan watak buruk industri ekstraktif yang abai terhadap keberlanjutan hidup warga, baik dari sisi lingkungan maupun hak-hak pekerja.
Warga yang sebelumnya telah menanggung beban ekologis dari aktivitas pabrik, kini juga harus menghadapi hilangnya sumber penghidupan secara mendadak dan tidak adil. Ini adalah bentuk ketidakadilan berlapis yang tidak boleh dibiarkan terus terjadi.
Kami mendorong pemerintah daerah dan instansi terkait untuk tidak hanya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap aspek ketenagakerjaan dan lingkungan di Kawasan Industri Bantaeng, tapi juga memastikan adanya penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan yang melanggar aturan. Sudah saatnya negara hadir membela hak warga, bukan tunduk pada kepentingan modal,”_ pungkas Junaedi Hambali perwakilan Balang Institut.
Komentar