Hukum Lumpuh di Maluku: Siapa di Balik Kebal Hukumnya Agustinus Thiodorus?

Saumlaki, Kabarsulsel-Indonesia.com | Di tengah keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan di Maluku, kasus pengrusakan mangrove di sekitar Pasar Omele, Saumlaki, menyeruak kembali.

Namun, yang lebih mencengangkan dari kerusakan alam ini adalah ketidakberdayaan hukum menghadapi seorang pengusaha bernama Agustinus Thiodorus, yang diduga menjadi aktor utama di balik kehancuran lingkungan tersebut. Sampai kapan keadilan dipermainkan?

Kasus ini bermula pada 31 Maret 2016, ketika Dinas Kehutanan Provinsi Maluku menerbitkan surat resmi yang menyatakan bahwa Agustinus Thiodorus telah melakukan penebangan mangrove secara ilegal.

Surat tersebut dengan tegas mencantumkan ancaman pidana delapan tahun penjara dan denda minimal Rp10 miliar sesuai aturan yang berlaku. Namun, tujuh tahun berlalu, surat itu hanya menjadi dokumen tanpa makna.

“Mengapa aturan hukum yang jelas ini tidak dijalankan? Siapa yang bermain di balik layar melindungi Agustinus Thiodorus? Apakah hukum di Maluku benar-benar telah tunduk kepada segelintir pengusaha seperti dia?” tanya Gilang Kelyombar, wartawan Transtv dan Koordinator Wilayah Maluku, dengan nada penuh amarah.

Hingga kini, kawasan mangrove di Pasar Omele semakin rusak parah. Lingkungan hancur, dan masyarakat setempat harus menanggung dampaknya. Namun, di tengah kerusakan yang nyata ini, aparat penegak hukum tampak tidak berdaya atau bahkan enggan menindak kasus tersebut. Lebih dari itu, laporan resmi yang dilayangkan ke Kapolda Maluku pada tahun 2023 juga tidak digubris.

Kebal Hukum?

Kenyataan ini memunculkan pertanyaan serius tentang siapa sebenarnya Agustinus Thiodorus. Apakah dia memiliki “tameng” yang membuatnya tidak tersentuh hukum?

Gilang Kelyombar bahkan menegaskan bahwa berbagai bukti telah disiapkan, termasuk dokumen-dokumen resmi dan dokumentasi lapangan yang memperkuat laporan terhadap pengusaha tersebut.

“Kita harus jujur bertanya, siapa yang bermain di balik kasus ini? Apakah hukum di negara ini sudah benar-benar mati jika berhadapan dengan orang-orang berduit? Jangan biarkan Maluku menjadi wilayah yang dipermalukan oleh pembiaran hukum seperti ini,” tegas Gilang.

Masyarakat Menanti Keberanian Aparat

Kerusakan mangrove di Pasar Omele tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Publik kini menantikan langkah nyata dari Kapolda Maluku dan Kapolri untuk membuktikan bahwa hukum masih berlaku untuk semua orang, tanpa terkecuali.

Jika aparat tetap diam, ini bukan lagi sekadar kasus lingkungan, melainkan bukti nyata bahwa hukum di Maluku telah disandera oleh kekuatan uang dan pengaruh. Agustinus Thiodorus dan siapa pun yang melindunginya harus segera diusut dan dihukum sesuai perbuatannya.

“Mari kita bersatu sebagai jurnalis, masyarakat, dan pejuang keadilan untuk memerangi ketidakadilan ini. Hukum harus ditegakkan, atau kita semua akan menjadi korban pembiaran yang sistematis ini,” pungkas Gilang.

Pertarungan melawan ketidakadilan telah dimulai. Kini bola ada di tangan aparat penegak hukum: akan membuktikan keberanian, atau semakin menunjukkan ketundukan pada kekuasaan? Masyarakat Maluku dan seluruh Indonesia menunggu jawabannya.

Komentar