Korupsi Dimulai di Pilkada: Bagaimana Biaya Tinggi Merusak Demokrasi?

OPINI744 views

By Bruri Tumiwa)

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di Indonesia, yang seharusnya menjadi ajang demokrasi untuk memilih pemimpin lokal terbaik, kini semakin sering menjadi momok yang menakutkan. Hal ini bukan hanya karena persaingannya yang ketat, tetapi juga karena biaya yang terlibat dalam prosesnya yang semakin tinggi dan memberatkan. Ketika biaya Pilkada melambung, korupsi sering kali menjadi harga yang harus dibayar, dan akhirnya, demokrasi yang dikorbankan.

Biaya Tinggi dalam Pilkada: Apa yang Terjadi?

Sebuah fakta yang tidak dapat disangkal bahwa biaya politik dalam Pilkada di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Salah satu faktor signifikan yang membuat biaya Pilkada menjadi sangat tinggi adalah kebutuhan calon kepala daerah untuk membeli rekomendasi (B1KWK) dari partai politik. B1KWK adalah dokumen penting yang diperlukan sebagai salah satu syarat pencalonan di Pilkada. Dokumen ini dikeluarkan oleh partai politik sebagai bentuk dukungan resmi terhadap calon kepala daerah yang akan diusung dalam pemilihan.

Praktik jual-beli rekomendasi ini sudah menjadi rahasia umum di beberapa daerah di Indonesia, di mana calon harus mengeluarkan dana besar hanya untuk mendapatkan dukungan partai politik. Alih-alih berbasis pada kualitas kepemimpinan atau visi-misi yang jelas, dukungan politik sering kali berlandaskan pada kemampuan finansial sang calon. Hal ini membuat kompetisi Pilkada semakin tidak sehat dan menjauh dari prinsip demokrasi yang seharusnya menilai kualitas dan integritas kandidat.

Ketika partai politik menetapkan harga tinggi untuk rekomendasi B1KWK, calon kepala daerah yang sudah mengeluarkan biaya besar ini kemudian memiliki kewajiban moral maupun finansial untuk “mengembalikan” investasinya setelah terpilih. Hal ini yang membuka ruang besar untuk praktik korupsi pasca pemilihan. Kepala daerah yang terpilih cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kepentingan partai pendukung daripada melayani masyarakat secara jujur dan transparan.

Dengan begitu, jual-beli rekomendasi B1KWK tidak hanya merusak sistem Pilkada itu sendiri, tetapi juga mengganggu tatanan pemerintahan yang idealnya berlandaskan pada pengabdian kepada rakyat. Kebutuhan untuk mengubah mekanisme ini sangat mendesak jika Indonesia ingin mengembalikan esensi demokrasi yang bersih, jujur, dan adil.

Selain jual-beli rekomendasi B1KWK yang merusak sistem Pilkada. Setelah mendapatkan B1KWK seorang Calon Kepala Daerah harus membiayai tahapan kampanye yang mahal, seperti dana untuk “serangan fajar,” hingga biaya logistik yang harus ditanggung oleh calon, Pilkada telah berubah menjadi ajang pertempuran finansial. Bagi sebagian besar calon, biaya ini tidak dapat ditutupi hanya dari kantong pribadi. Mereka sering kali bergantung pada sponsor atau donatur yang memiliki kepentingan tertentu.

Di sinilah akar dari masalah korupsi dalam politik Indonesia. Para calon yang terjebak dalam lingkaran biaya tinggi terpaksa menjalin hubungan dengan para penyandang dana, yang pada akhirnya menuntut imbalan setelah mereka terpilih. Dari sinilah korupsi mulai tumbuh dan menyebar.

Korupsi dan Demokrasi yang Terkikis

Saat seorang calon terpilih melalui bantuan dana besar dari pihak tertentu, komitmennya terhadap rakyat sering kali terpinggirkan oleh kepentingan pribadi dan kelompok pendukungnya. Kontrak politik di balik layar inilah yang menjadi sumber dari berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, tetapi pada para elit dan cukong yang mengendalikan kepala daerah tersebut.

Korupsi mulai merasuki setiap level pemerintahan daerah. Mulai dari pengadaan barang dan jasa, alokasi anggaran daerah, hingga jual beli jabatan, semua ini adalah bentuk nyata dari bagaimana demokrasi bisa tergerus oleh praktik-praktik korup yang dimulai dari Pilkada.

Masyarakat sebagai Korban Utama

Ironisnya, rakyat yang seharusnya menjadi pihak yang paling diuntungkan dari proses demokrasi justru menjadi korban terbesar. Kualitas pelayanan publik menurun, pembangunan infrastruktur terhambat, dan ketimpangan sosial semakin melebar. Semua ini adalah dampak dari bagaimana kepala daerah yang korup lebih mementingkan pengembalian modal kampanyenya daripada memenuhi janji-janji kampanyenya.

Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Mereka mulai melihat Pilkada bukan sebagai alat untuk memperbaiki nasib, tetapi sebagai permainan elit yang penuh tipu muslihat. Ketika kepercayaan masyarakat hilang, demokrasi yang sejatinya adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, berubah menjadi alat untuk memperkaya segelintir orang.

Mencari Solusi untuk Masa Depan

Masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Reformasi dalam sistem Pilkada menjadi kebutuhan yang mendesak. Salah satu solusi yang sering diusulkan adalah transparansi dalam pendanaan kampanye. Setiap calon harus melaporkan sumber dan penggunaan dana kampanyenya dengan jelas. Selain itu, pengetatan aturan mengenai batasan sumbangan politik juga diperlukan agar tidak ada pihak yang bisa “membeli” kekuasaan.

Penguatan peran lembaga pengawas seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga sangat penting. Lembaga ini harus lebih aktif dalam mengawasi proses Pilkada dan menindak tegas setiap bentuk pelanggaran yang berpotensi merusak demokrasi.

Pada akhirnya, demokrasi yang sehat tidak mungkin tercipta jika Pilkada terus menjadi ajang korupsi. Biaya tinggi dalam Pilkada harus diatasi agar setiap calon pemimpin daerah dapat bersaing secara adil, tanpa harus bergantung pada sponsor yang akan menuntut imbalan yang merugikan rakyat. Hanya dengan demikian, kita bisa berharap demokrasi di Indonesia bisa tumbuh dengan sehat dan benar-benar membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

 

*). Wakil Ketua Umum DPP Setya Kita Pancasila

Komentar