Menilik Spirit Pancasila Dari Bilik Posko Negarawan

Jakarta74 views

JAKARTA, Kabarsulsel-indonesia.com – Tema diskusi Mingguan seri keempat Posko Negarawan, 26 Oktober 2022 di Jl. Percetakan Negara IV No. 1 Jakarta menilik kesadaran dan pemahaman spiritual dalam konteks Pancasila sebagai falsafah bangsa yang berbeda dengan ideologi negara. Karena ketika Pancasila digeser dari falsafah bangsa menjadi ideologi negara, ideologi negara telah mengabaikan ruh bangsa. Karena ideologi negara tidak membawa serta ruh bangsa.

Demikian ungkap Hendrajit pada seri duskusi pada 19 Oktober 2022. Kecuali itu, spirit dari ekonomi Pancasila tidak lagi relevan di era kapitalisme yang berjaya di negeri kita sekarang ini. Apalagi nengacu pada pasal 33 dari ayat 4 UUD 1945, kata Darmo yang sudah ditambah muatannya untuk lebih memberi kebebasan dalam bersaing bagi para pelaku ekonomi yang menghalalkan untuk menggilas pengusaha kecil, seperti Indomart dan alfamart yang melantak ekonomi rakyat kecil seperti pasar tradisional atau warung tetangga, ungkap imbuh Yudha Geminz yang bertindak selaku moderator.

Karena yang sepatutnya, ekonomi kerakyatan itu harus dijaga dan dilindungi oleh pemerintah. Tidak boleh dibiarkan bertarung secara bebas dengan konglomerat yang punya dana tidak terhingga, karena mereka bisa sekehendak hati melibas pengusaha kecil.

Setiap orang boleh saja untuk kaya raya, tidak terbatas dan tidak ada larangannya, akan tetapi cara untuk mencapai menangguk kekayaan itu hendaknya tidak bertentangan dengan spirit dari Pancasila yang telah menjadi falsafah bangsa dan Indeologi negara. Padahal, ketika Pancasila ditarik dari falsafah bangsa menjadi ideologi negara, yang salah menurut Hendrajit, pada sessi diskusi sebelumnya (19/10), ideologi negara telah mengabaikan ruh Pancasila yang telah merasuk dalam tulang sumsum rakyat. Meski begitu, toh stempel tidak Pancasilais selalu saja ditudingkan kepada rakyat.

Jadi upaya yang telah menggseer Pancasila dari falsafah bangsa menjadi ideologi negara pun tidak boleh sembrono dilakukan. Apalagi hanya dengan cara mrngklaim begitu saja ideologi sehingga asumsi terhadap pemahaman Pancasila sudah bisa dianggap selesai.

Atas dasar itu, akibatnya untuk membumikan Pancasila sebagai falsafah bangsa menjadi semakin membingungkan ketika diklaim oleh negara sebagai ideologi. Sementara kerja BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) justru makin membuat Pancasila — sebagai falsafah maupun ideologi jadi semakin mengawang di atas awan, tidak membumi.

Padahal yang harus terlebih dahulu di-Pacasila-iskan adalah pejabat negara, baru menyusul kemudian rakyat kebanyakan. Setidaknya, pejabat publik itu harus menjadi contoh bagi rakyat. Baru kemudian Pancasila dapat disosialisasikan kepada rakyat. Sebab tugas utama BPIP dalam Tupoksinya harus dan wajib membina — bukan membiasakan — upaya pembinaan serta pengarahan bagi etika, moral dan akhlak segenap anak bangsa yang sudah rusj parah sekarang ini.

Indikator dari rusaknya kesadaran dan pemahaman terhadap Pancasila seperti pengkhianatan dan pengingkaran terhadap sumpah dan janji para pejabat negara maupun pejabat pemerintah yang semakin meningkat kegandrungannya melakukan korupsi. Padahal, ketika bersumpah untuk menerima jabatan yang diemban itu — sebagai amanah dari rakyat, tidak sedikit jumlahnya yang khianat. Jadi penyelewengan dan perilaku korup serta ingkar pada Pancasila yang telah dijadikan ideologi negara, justru semakin marak dan parah merajalela.

Oleh karenanya, kesan yang terjadi di negeri ini, Pancasila yang sepatutnya jadi bagian dari nilai budaya bangsa telah digantikan oleh budaya korupsi dan kemunafikan. Utamanya bagi penyelenggara negara dan pemerintah yang sudah sangat tidak beres.

Jadi, merosot dan tergradasinya nilai-nilai Pancasila bukan karena ulah rakyat. Sebab rakyat kebanyakan hanya mengikuti saja ulah dan perbuatan pejabat publik yang ada.

Asas koeperatif harus seiring dengan demokrasi ekonomi. Tapi realitasnya tidak selaras dengan azas kekeluargaan serta spirit ekonomi yang diidealkan oleh rakyat yang harus dan wajib tunduk dengan Pancasila, tandas Padapotan Lubis menambah ikhwal Pancasila yang sekedar pemanis bibir semata.

Karenanya perubahan mainset harus dilakukan juga, kata Padapotan Lubis memperkuat argumen Eko Sriyanto Galgendu yang menyerukan harus ada revolusi moral dan revolusi mental. Karena revolusi mental saja tidak cukup untuk menjadi fondasi katakter bangsa yang kuat dan berdaulat.

Atas dasar itulah, kesimpulannya menurut Burhan Rosyidi harus ada upzya mengubah skema investasi, tidak lagi bertumou pada teknologi, tapi harus pada sumber daya alam, maka itu kita diperlukan kesadaran pada uoaya eksploitatif terhadap sumber daya alam. Karena melakukan pembiaran pada eksploitasi itu pun tidak Pancasilais, tandasnya.

Adaohn wujud dari keadilan sosial justru lebih nyata diimplementasikan oleh negara asing yang bisa ditandai sebagai dari bentuk negara kapitalis. Namun didalam negeri mereka tetap saja memperaktekkan sosialisme. Jadi kapitalisme itu hanya mereka lakukan untuk menghadapi negara kita yang mengamalkan Pancasila dengan setengah hati saja.

Negara asing yang kapitalistik itu penuh kesadaran mereka lakukan cuma sekedar untuk memenuhi kebutuhan rakyat mereka dalam konteks keadilan sosial.

Artinya, prilaku kapitalisme itu hanya mereka lakukan untuk menghadapi bangsa dan negara kita, kata Eko Sriyanto Galgendu yang mengacu pada sejumlah negara kapitalis yang mempraktekkan sisialis di dalam negeri mereka. Bukan untuk kita.

Sebagai pelaku spiritual yang mengidolakan kebijakan negara, kelak tidak hanya diputuskan oleh pemimpin politik — hanya berdimensi politis semata — tetapi yang ideal bertumpu pada kekuatan spiritual (Ketuhanan, Kemanusiaan dan Kelestarian jagat raya) dengan cara ikut membangun keselarasan dengan cara menempat nilai-nilai yabg Agung dari makna Jetuhana, kemanusiaan dan keselarasan hidup di alam raya milik Tuhan ini.

Jakarta, 26 Oktober 2022

Komentar