Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Di tengah semilir angin pesisir dan gemuruh ombak yang menepi di Ruang Terbuka Hijau (RTH) K.H Maruf Amin, gema takbir dan syukur menggema khidmat.
Jumat, 8 Agustus 2025, masyarakat Fakfak memperingati 665 tahun masuknya Islam ke Tanah Papua—sebuah peristiwa bersejarah yang tak hanya mencatat kehadiran agama, tapi juga peradaban.
Peringatan ini bukan sekadar seremoni. Ia menjelma menjadi ruang refleksi kolektif, sekaligus penegasan jati diri masyarakat Papua sebagai bagian integral dari mozaik besar Islam Nusantara yang damai, inklusif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal.
Bupati Fakfak, Samaun Dahlan, dalam sambutannya mengungkap fakta sejarah yang selama ini nyaris terabaikan dalam narasi arus utama.
Berdasarkan kajian ilmiah para sejarawan dan tokoh agama, Islam pertama kali menyentuh bumi Cendrawasih pada 8 Agustus 1360, melalui Kampung Rumbati. Seorang mubaligh bernama Syekh Abdul Ghafar menjadi pelopor dakwah yang menembus sekat budaya tanpa kekerasan.
“Islam datang ke Papua bukan dengan pedang, tapi dengan keteladanan. Ia menghormati adat, bahkan menguatkan nilai-nilai lokal seperti filosofi Satu Tungku Tiga Batu,” ujar Bupati dengan lantang.
Filosofi lokal itu, lanjutnya, merefleksikan kerukunan umat beragama yang telah terjaga sejak berabad silam. Bukan isapan jempol, masyarakat Fakfak membuktikan hal itu dalam keseharian—bergotong royong membangun masjid dan gereja, saling menjaga, dan saling memimpin dalam spirit kebersamaan.
Di hadapan para tokoh agama, masyarakat adat, dan Wakil Gubernur Papua Barat Mohamad Lakotani, Bupati Samaun juga mengapresiasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Fakfak dan Papua Barat, serta tokoh lokal Alifahan yang menjadi motor penggerak kajian sejarah Islam di tanah ini.
Satu temuan penting dari kajian itu mengoreksi persepsi umum: bahwa Papua bukanlah wilayah terakhir yang tersentuh dakwah Islam. Justru sebaliknya, dari Kesultanan Tidore ke Fakfak hanya butuh 279 tahun—jauh lebih awal dari beberapa wilayah di Indonesia timur lainnya.
“Ini bukan sekadar penemuan sejarah, tapi pengembalian identitas kultural dan spiritual masyarakat Fakfak yang telah bersanding dengan Islam selama lebih dari enam abad,” tegas Bupati.
Untuk mengabadikan momen bersejarah ini, Bupati Samaun mengusulkan agar tanggal 8 Agustus ditetapkan sebagai hari libur daerah di Provinsi Papua Barat. Usulan ini disampaikan langsung kepada Wakil Gubernur, dan diharapkan bisa berlaku mulai tahun 2026.
“Ini bentuk penghormatan terhadap Islam sebagai agama yang datang dengan damai, bukan dengan paksaan,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.
Peringatan 665 tahun Islam di Papua bukan hanya selebrasi, melainkan manifestasi nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin yang telah mengakar dalam kultur Papua—Islam yang menghargai pluralitas, menebar kasih, dan menjadi perekat harmoni.
Di tanah yang menjadi gerbang timur Indonesia ini, sejarah berbicara lantang: Islam tak hanya hadir, tapi hidup dan menyatu dalam denyut nadi masyarakat Fakfak. Sebuah pelajaran yang patut disematkan dalam sejarah bangsa.









Komentar