Tiakur, Maluku Barat Daya, Kabarsulsel-Indonesia.com | Dalam sebuah negara di mana penghormatan terakhir bagi yang meninggal seharusnya menjadi hak dasar, warga Tiakur, ibu kota Kabupaten Maluku Barat Daya, masih terpaksa mengemis lahan pemakaman. Lebih dari 15 tahun setelah pemindahan pusat pemerintahan dari Pulau Kisar ke Pulau Moa, pemerintah daerah belum mampu menyediakan Tempat Pemakaman Umum (TPU). Kegagalan ini tidak hanya mengecewakan, tetapi juga menyayat hati.
Sejak pemindahan pusat pemerintahan, pembangunan infrastruktur di Tiakur memang mengalami perkembangan. Namun, kebutuhan mendasar seperti TPU masih terabaikan. Setiap kali ada warga yang meninggal, keluarga harus meminta-minta tempat pemakaman ke dua desa tetangga, Desa Wakarleli dan Desa Kaiwatu. “Ini sangat memalukan dan tidak manusiawi,” keluh B.T., seorang warga Tiakur yang enggan disebutkan namanya lengkap.
Upaya yang Gagal
Dalma Eoh, S.P., Kepala Dinas Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa upaya penyediaan TPU sebenarnya telah dimulai sejak 2012. Berbagai OPD seperti Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum, dan Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah terlibat dalam proses ini. Namun, status tanah yang ditawarkan oleh marga dari Desa Patty masih berstatus kawasan hutan, yang memerlukan pembebasan lahan.
“Pemerintah daerah sudah membentuk tim pembebasan lahan dan membuat peraturan daerah (PERDA), tetapi semua itu sia-sia karena tanah tersebut belum masuk kategori APL (Area Penggunaan Lain),” ungkap Dalma dengan nada frustasi.
Terjerat Birokrasi
Proses birokrasi yang berlarut-larut tampak menjadi hambatan utama. Pemerintah daerah dan Dinas Pekerjaan Umum kini harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat, Pertanahan, dan Agraria untuk mengubah status lahan tersebut menjadi APL. Tanpa perubahan status ini, lahan tersebut tetap tidak bisa digunakan sebagai TPU.
“Kami sudah membentuk tim pembebasan lahan dan membuat PERDA, tapi apa gunanya jika tanah itu tidak bisa digunakan?” tanya Dalma retoris, menyoroti ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menghadapi birokrasi yang stagnan.
Derita Warga
Sementara itu, warga seperti B.T. terus merasakan penderitaan. “Setiap kali ada yang meninggal, kami harus mengemis ke dua desa tetangga. Ini adalah penghinaan terhadap martabat kami. Kami butuh TPU di Tiakur agar tidak terus-menerus mengalami kesulitan ini,” tegasnya.
B.T. menuntut pemerintah daerah segera bertindak dan mempercepat proses pembebasan lahan. “Pemerintah daerah harus menunjukkan tindakan nyata dan segera menjawab keluhan masyarakat. Kami sudah cukup bersabar,” tandasnya.
Harapan yang Tertunda
Kisah ini adalah potret suram dari sebuah pemerintahan daerah yang gagal memenuhi kebutuhan dasar warganya. Setiap hari yang berlalu tanpa TPU adalah hari di mana martabat warga Tiakur terabaikan. Mereka berharap bahwa pemerintah daerah dan pusat dapat segera berkoordinasi untuk menyelesaikan masalah ini.
Harapan warga sederhana: sebuah tempat yang layak untuk mengistirahatkan orang yang mereka cintai. Namun, hingga saat ini, harapan itu masih terperangkap dalam jeratan birokrasi yang tak kunjung terurai.
Komentar